TERJEMAHAN

Wednesday 5 January 2011

RUPANYA JOKI ADA DIMANA MANA

’’Joki’’ Narapidana
Oleh: Emerson Yuntho


Selama ini, istilah ’’joki’’ identik dengan joki untuk pacuan kuda, joki untuk kawasan tiga penumpang per kendaraan (three in one), dan joki untuk ujian penerimaan mahasiswa baru. Namun, belum lama ini istilah joki juga muncul di lingkungan penjara. Istilah baru itu menjadi perhatian masyarakat setelah terungkapnya kasus joki narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA di Bojonegoro, Jawa Timur. Kasus tersebut melibatkan Kasiem, 55, seorang napi kasus pupuk bersubsidi yang dihukum tiga bulan 15 hari penjara. Dia menyelundupkan seorang ibu rumah tangga bernama Karni, 50, untuk menggantikan dirinya mendekam di kurungan dengan imbalan Rp 10 juta.
Temuan joki di penjara seperti yang terjadi di Bojonegoro itu tidak saja mengejutkan dan memprihatinkan, namun juga mengusik rasa keadilan masyarakat. Joki napi itu bisa dipastikan terjadi karena adanya praktik korupsi atau suap-menyuap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2009 mengevaluasi kinerja dan integritas semua lembaga pemasyarakatan (lapas).
Dari hasil evaluasi tersebut, KPK menemukan berbagai kelemahan lembaga di bawah naungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM). Misalnya, soal pungutan liar dan dugaan suap serta kebiasaan memberikan suap kepada petugas di lapas.
Praktik korupsi di lapas atau penjara juga diperkuat hasil pemantauan dan penelitian Indonesia Corruption Watch pada 2001 tentang pola-pola korupsi di peradilan, termasuk institusi penjara. Dari segi aktor, mereka yang terlibat dalam korupsi itu adalah terpidana atau napi, petugas, kepala penjara, pejabat di lingkungan Kemenkum HAM, perantara (broker), jaksa, polisi, maupun advokat.
Hasil riset di enam kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar, Samarinda, dan Jogjakarta) serta pemantauan selama ini juga menemukan sejumlah pola korupsi yang terjadi di penjara.
Pertama, pemberian perlakuan dan fasilitas khusus selama dalam tahanan. Dengan membayar sejumlah uang, seorang napi dapat memperoleh perlakuan atau fasilitas yang berbeda dari napi yang lain. Napi bisa memilih ditempatkan di penjara yang disukainya. Napi juga dapat meminta fasilitas khusus seperti sel tersendiri yang terpisah dari napi lain, mendapat makan dan minuman bergizi, peralatan elektronik, serta hiburan.
Kedua, pemberian izin ke luar penjara. Pada dasarnya, napi memiliki hak keluar dari penjara. Misalnya, untuk berobat atau cuti mengunjungi keluarga. Namun, prosedurnya, harus ada izin yang diberikan kepala lapas dan Kakanwil Kemenkum HAM. Namun, hak-hak tersebut sering disimpangkan. Salah satu contoh adalah tertangkapnya Ramadhan Rizal, terpidana kasus korupsi, dalam pesta narkoba di sebuah hotel di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, 27 Agustus 2006. Padahal mantan pegawai pengadilan itu seharusnya berada di Lapas Cipinang.
Ketiga, pemberian pengurangan hukuman (remisi). Salah satu jalan cepat yang dapat digunakan napi agar segera menghirup udara bebas adalah melalui pemberian remisi. Remisi merupakan salah satu hak napi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Jika berkelakuan baik selama di penjara, seorang napi bisa diberi remisi.
Pemberian remisi sangat bergantung pada penilaian subjektif kalangan petugas atau kepala penjara. Hal itu sangat rentan disalahgunakan dan menjadi komoditas antara petugas dan napi yang berduit. Berkelakuan baik diterjemahkan sebagai ’’tindakan napi memperlakukan petugas dengan baik’’. Misalnya, memberikan sejumlah uang atau barang. Akibatnya, sering terjadi ketimpangan jumlah remisi antara satu napi dan napi lainnya.
Keempat, pungutan untuk tamu atau pengunjung. Ketika ada keluarga atau tamu yang ingin mengunjungi napi di penjara, ternyata ada pungutan ’’tidak resmi’’ yang seolah-olah telah terstandardisasi. Untuk sekali kunjungan, tamu yang akan mengunjungi sanak saudaranya dalam penjara dikenai biaya Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu. Petugas maupun napi binaan juga sering mengutip uang, terutama dari mereka yang diketahui telah menerima sejumlah uang dari sanak saudaranya. Tamu juga dapat mengunjungi napi tanpa terikat jam kunjungan dengan membayar sejumlah uang suap yang lebih besar.
Kelima, penggunaan napi pengganti (stuntman) atau joki untuk menjalani hukuman. Kalau negosiasi sejak penyidikan lancar, terdakwa tidak hanya absen dari sidang di pengadilan. Bahkan, posisinya di penjara jika dihukum bisa digantikan orang lain atau joki. Tentu saja sang joki telah mengubah identitas sehingga secara formal identitasnya sama dengan terpidana. Napi yang asli cukup membayar bulanan dan menjamin kebutuhan joki selama di penjara.
Keterbatasan, ketidaknyamanan, dan lemahnya pengawasan serta rendahnya kesejahteraan para petugas lapas dan aparat penegak hukum serta integritas yang buruk dinilai menjadi faktor pendorong masih maraknya korupsi di penjara hingga saat ini. Karena praktik korupsi, istilah penjara sebagai hotel prodeo (gratis) sudah tidak tepat dalam kondisi saat ini. Sebab, tidak ada yang gratis selama di penjara dan muncul adagium, ’’sepanjang ada uang semua bisa diatur’’.
Kasus joki napi di Bojonegoro seharusnya menjadi pelajaran bagi jajaran penegak hukum dan Kemenkum HAM. Tindakan saling menyalahkan antarinstansi tidak akan menyelesaikan masalah korupsi dan silang sengkarut di penjara. Upaya penindakan dan pencegahan harus segera dilakukan.
Sebagai upaya penindakan, jaksa agung serta menteri hukum dan HAM sebaiknya berani menindak tegas jajaran di bawahnya yang dinilai bertanggung jawab serta lalai dalam mengawasi. Sebagai langkah pencegahan, antara lain, bisa dilakukan penguatan pengawasan dan pembinaan, pemberian penghargaan dan hukuman (reward and punishment), serta dukungan pendanaan untuk perbaikan sarana dan prasarana

No comments:

Post a Comment