TERJEMAHAN

Wednesday 23 March 2011

KISAH KIAYI YANG PERLU DIRENUNGKAN

LAZIMNYA kiai  hosh atau pemuka agama yang menguasai berbagai macam ilmu, Kiai Ahmadi memiliki daya penglihatan luar biasa.

Suatu saat Kiai Ahmadi terkejut melihat roti di atas meja yang hendak disantapnya tiba-tiba berubah menjadi bara.Dia coba menyentuh roti itu dengan ujung jari telunjuknya. Benar-benar seperti menyentuh bara.Panas. Sejenak Kiai Ahmadi mengaduh sambil meniup-niup jari telunjuknya yang terasa terbakar. Lalu dia tepekur memandangi potongan- potongan roti itu. Ia lantas teringat Kasman, teman kecilnya, yang kini menjadi pejabat penting. Kemarin Kasman datang bersilaturahmi bersama istri membawakan oleh-oleh roti itu. “Kok diam saja,Pak? Apa rotinya tidak enak?”sapa istrinya yang baru muncul dari dapur membawakan dua gelas kopi hangat.


“Sebaiknya roti ini segera dibuang saja, Bu,” ujar Kiai Ahmadi dengan muak. “Eh,jangan,Pak.Roti ini harganya mahal. Sayang kalau dibuang. Kalau kamu tidak doyan, biar aku saja yang menyantapnya,” tukas istrinya sambil memungut sepotong roti itu. Lalu menyantapnya dengan lahap. Kiai Ahmadi mendengus panjang. Dia heran.Ternyata istrinya tidak merasakan panas,ketika memungut sepotong roti itu.Padahal,di matanya,sepotong roti yang sedang disantap istrinya itu adalah sepotong bara yang mengepulkan asap putih. “Roti ini enak sekali, Pak. Cobalah dicicipi.” Kiai Ahmadi masih saja bungkam. Dia sadar, bahwa kini dia memang memiliki mata yang lebih jeli dibanding mata orang-orang awam.


Misalnya saja pada hari-hari kemarin dia melihat mulut tetangga kanan kirinya yang belepotan darah seperti mulut serigala yang baru saja habis menyantap seekor kelinci. Dia cuma bisa mendugaduga bahwa mereka yang seharihari berprofesi sebagai PNS itu mungkin baru saja melakukan korupsi uang kantor untuk menambah uang belanja. Kiai Ahmadi menduga matanya yang sekarang lebih jeli itu mungkin berkat ketekunannya melakukan salat tahajud, setiap malam. Ibadah sunah itu dilakukannya dengan maksud untuk menyucikan hati dan pikirannya, supaya ia bisa lebih khusyuk beribadah di masa tuanya. Sebagai orang yang sudah tua, Kiai Ahmadi hanya punya keinginan agar bisa lebih khusyuk beribadah.


Kini,ketiga anaknya sudah mentas, bahkan mereka kini boleh dibilang sudah mapan,karena masing- masing sudah punya jabatan. Si sulung Sarju sudah menjadi kepala kantor. Adik Sarju, Herman, sudah menjadi wakil kepala kantor. Dan si bungsu, Faisol, malah sudah menjadi wakil bupati. Sejak dulu Kiai Ahmadi selalu rajin memberi nasihat kepada anak-anaknya agar mereka selalu jujur dan bersih sebagai pegawai atau pejabat. Kini tiba-tiba Kiai Ahmadi mencemaskan ketiga anaknya.“Mungkinkah mulut mereka juga sudah belepotan darah seperti mulut serigala?”tanyanya dalam hati. Pagi itu Faisol datang. Benar saja.


Di mata Kiai Ahmadi mulut anak  bungsunya itu tampak belepotan darah. Lalu diajaknya Faisol bicara empat mata di ruang keluarga. “Benarkah kamu telah melakukan korupsi?” tanya Kiai Ahmadi dengan mata mendelik. Faisol tidak menjawab. “Jawab dengan jujur!” bentak Kiai Ahmadi. Dada Faisol terasa sesak. “Aku pernah berkata, kalau anak-anakku ternyata melakukan korupsi, aku tidak mau lagi mengakuinya sebagai anak!” seru Kiai Ahmadi sambil menerawang ke luar jendela, “kamu pasti masih ingat kata-kataku itu,bukan?!” Faisol hanya mengangguk lesu. “Uang apa yang telah kamu korupsi? Jawab yang jujur!”desak Kiai Ahmadi.


Dengan terpaksa Faisol menjawab terus terang.“Saya bersama semua camat memang pernah menerima uang dalam amplop. Hanya itu saja,Ayah.” “Kamu tahu dari mana uang itu?” “uang itu dari seorang pengusaha yang hendak membangun pabrik di daerah ini.” “Apakah sudah ada rakyatmu yang kamu paksa untuk menjual sawah atau tanahnya kepada pengusaha itu?” Faisol mendengus panjang.“Saya tidak memaksa rakyat,Ayah. Saya cuma merayu mereka,supaya mereka bersedia menjual sawah atau tanahnya untuk pembangunan pabrik. Sebab kalau sudah ada banyak pabrik, para pengangguran akan bisa mendapatkan pekerjaan.” “Kamu telah menindas rakyatmu sendiri! Itulah sebabnya sekarang di mataku mulutmu belepotan darah seperti mulut serigala yang habis menyantap seekor kelinci!” Kiai Ahmadi geram, matanya berkaca-kaca. Faisol menangis.


Penyesalan memenuhi dadanya. “Kamu telah mengecewakanku!” geram Kiai Ahmadi lagi sambil menyeka air matanya. “Maafkan saya, Ayah.” “Kamu juga harus minta maaf kepada rakyatmu yang telah kamu paksa untuk menjual tanah dan sawahnya! Uang dari pengusaha kamu kembalikan semuanya!” Faisol menyeka air matanya. Rasanya tidak mungkin dia berani mengembalikan uang yang telah diterimanya. Juga tak mungkin rasanya ia bersedia meminta maaf kepada rakyatnya. Kiai Ahmadi tidak bicara lagi. Wajahnya termangu dan matanya menerawang ke luar jendela. Dia menduga mulut Sarju dan Herman mungkin juga sudah belepotan darah seperti mulut serigala yang habis menyantap seekor kelinci.Esok atau lusa mereka mungkin akan datang mengunjunginya.


Benar,keesokan harinya,Sarju dan Herman datang hampir bersamaan, membawa istri dan anak mereka masing-masing. Kiai Ahmadi pun melihat mulut mereka belepotan darah. Lalu segera kedua anaknya itu disuruhnya masuk kamar untuk diajak bicara pelanpelan. “Mulut kalian tampak belepotan darah. Kalian pasti telah melakukan korupsi, bukan?!” sambut Kiai Ahmadi. Sarju dan Herman tersipu-sipu. Segera mereka usap bibir masingmasing dengan sapu tangan seperti ketika habis makan.Tapi mereka melihat sapu tangan mereka masih bersih.Tak ada bercak darah. “Hanya aku yang bisa melihat mulut kalian belepotan darah!” ucap Kiai Ahmadi. Sarju dan Herman saling pandang. Mereka merasa geli.Mereka menduga ayah sengaja ingin mengajaknya bergurau.


Tapi kalau cuma ingin bergurau, mengapa harus di dalam kamar yang tertutup? “Jawab yang jujur! Benarkah kalian telah melakukan korupsi?” suara Kiai Ahmadi bergetar. Matanya mendelik menatap wajah kedua anaknya itu. Sarju dan Herman kembali tersipu. “Jawab yang jujur!”desak Kiai Ahmadi. Sarju mengangkat bahu. Herman mendengus, lalu berkata tegas,“Sekarang tidak ada pejabat yang tidak pernah melakukan korupsi,Ayah.”


“Korupsi itu sejak dulu sudah menjadi budaya di semua kantor pemerintah, Ayah,” sambung Sarju, “kalauadapejabatyangmengakutidak pernah korupsi,pasti bohong.” Kiai Ahmadi menangis tersedusedu setelah mendengar ucapan kedua anaknya.Dia segera teringat seorang temannya yang kini sudah menjadi mantan presiden, ketika mereka sama-sama nyantri di pondok pesantren. Apakah sewaktu menjadi presiden temannya itu bisa melihat mulut banyak orang di sekitarnya belepotan darah? Atau justru mulut temannya itu belepotan darah juga seperti mulut serigala yang habis berpesta? “Sebaiknya Ayah tidak usah terlalu banyak pikiran,”saran Sarju. “Iya, sebaiknya Ayah beribadah saja yang khusyuk.Ayah tidak usah memikirkan kehidupan kami,” sambung Herman.


“Bagaimana mungkin aku bisa khusyuk beribadah, kalau melihat mulut kalian berlumur darah seperti mulut serigala?!” tukas Kiai Ahmadi sambil tersedu-sedu. Sarju dan Herman segera keluar meninggalkan kamar ayahnya. Mereka merasa sia-sia untuk melanjutkan perbincangan dengan ayah. Di mata mereka, ayah terlalu kolot. “Mungkin Ayah sudah mulai mengidap gejala pikun, sehingga bicaranya aneh-aneh. Masa mulut kami dikatakan belepotan darah?!” bisik Herman dengan bersungut- sungut. “Ah,tak usah ditanggapi serius. Orang tua itu kalau bicara memang kadang aneh-aneh,” sergah Sarju dengan tersenyum. Di dalam kamar Kiai Ahmadi masih saja menangis. Hatinya terasa hancur.


Dadanya mendadak sangat sesak, kepalanya sangat pusing, dan matanya berkunangkunang, sebelum kemudian dia jatuh pingsan.Setelah siuman,Kiai Ahmadi melihat ketiga anak dan ketiga menantunya sedang membacakan Surat Yasin bersama-sama di sekeliling tubuhnya yang terbujur lemas. Kiai Ahmadi ingin bangkit,tapi sekujur tubuhnya tidak bertenaga lagi. Di matanya, ketiga anak dan ketiga menantunya itu tiba-tiba menjelma menjadi sekawanan serigala yang hendak menerkam dan mencabik-cabik tubuhnya.(*)


MANAF MAULANA

Menulis prosa, puisi dan esai yang diterbitkan di berbagai media. Juga mengelola Pondok Kreatif.

Sumber : http://www.artikelkomputer.net/2011/02/kiai-dan-koruptor.html

No comments:

Post a Comment