TERJEMAHAN

Monday 6 December 2010

KISAH 10 HARI DI PENJARA KASUS KORUPSI YANG IDEALIS

1. Hari Pertama
Setelah mengisi urusan administrasi dan bla-bla-bla lainnya, akhirnya ia masuk ke dalam penjara yang tenar seantero negeri ini. Tak ada rasa bangga yang menyusup ke dalam dadanya. Tentu saja, mana mungkin ia berbesar hati masuk ke tempat itu, apalagi sebagai pesakitan.
Ia jadi pesakitan setelah mendapat keputusan tetap dari pengadilan. Namun ia tidak mengerti mengapa vonis hakim begitu berat padanya. Padahal banyak fakta janggal yang begitu saja ditelan oleh majelis itu. Mereka mengabaikan begitu saja fakta yang mengungkap ketidak-terlibatannya. Tapi apa daya sekarang, sudah terlambat. Pengajuan bandingya selalu dimentahkan. Bahkan vonisnya semakin diperberat.
Dan karena itu pula, rasanya tak salah jika ia ingin mengutuk hari ini, namun tak jadi ia lakukan. Ia berpikir Tuhan pasti punya rencana yang terbaik buatnya. Untuk itu, ia hanya menunggu dari pelaksanaan rencana itu.

2. Hari Kedua
Hari berikutnya pun tiba, ia mulai dilanda kebosanan. Bukannya bosan karena diperlakukan yang katanya “untuk pemanusiaan kembali”. Lebih karena ia jenuh, tak bisa melakukan kerjaan hariannya yang ditunggangi oleh berbagai kepentingan.
Kepentingan yang salah satunya katanya pesanan dari Sang Bapak. Padahal saat ketemu Sang Bapak, Sang Bapak tak pernah kelihatan memesan hal yang begituan. Sang Bapak begitu bijak dan layak dijadikan panutan. Ia berpikir jangan-jangan ini hanya akal-akalan orang-orang di sekitar Sang Bapak atau memang Sang Bapak punya kepribadian lain yang sungguh belum pernah ia jumpai. Jika memang benar begitu, ia tak ingin menyebut Sang Bapak orang yang munafik, ia menganggap Sang Bapak mungkin sedang khilaf belaka.

3. Hari Ketiga
Karena letih dengan kebosanan tersebut, mendadak kondisi dirinya menjadi drop. Terpaksalah ia dirawat klinik penjara itu. Jangan dikira fasilitasnya lengkap dan ada AC-nya. Ada obatnya saja itu sebuah syukur yang teramat hebat.
Tapi ia tak mempedulikan hal itu. Yang diinginkannya ialah ingin membunuh kebosanan itu. Ia berusaha berpikir keras, bagaimana cara melakukannya. Ia tak mengindahkan nasehat dokter agar tak perlu banyak pikiran. Karena dalam benaknya protes, mana mungkin orang dilarang berpikir. Bukankah manusia hidup itu harus berpikir, jika tak berpikir apakah ia layak dikatakan manusia? Pertanyaan itu berkecamuk terus di otaknya.
Tiba-tiba terbetik perasaan ingin mencaci dokter itu. Bisa-bisanya seorang dokter berani melarang orang berpikir, penguasa yang tiran saja tidak ada yang melakukannya. Paling banter yang dikerjakannya hanyalah menyumpal mulut para demonstran dengan semprotan dan sogokan.
Sogokan, ia jadi teringat kata itu. Bukankah ia dimasukkan ke penjara ini gara-gara itu? Sogokan atau bahasa akademik-legal formilnya adalah gratifikasi itulah yang didakwakan padanya. Ia tak mengerti para pendahulunya juga mendapatkannya secara terang-terangan tapi mengapa tidak ditangkap dan dipenjara seperti dirinya. Hukum yang aneh, kata itu, meluncur keluar begitu saja dari mulutnya yang sedikit terlihat pucat.

4. Hari Keempat
Tempat tidur di klinik itu memang lebih sedikit mendingan dibandingkan di dalam sel. Namun itu tetap tak menyenangkan hatinya. Ia ingin saja segera keluar dari tempat itu saja.
Ia pun meminta dokter untuk mengijinkannya kembali ke sel. Tapi apa kata dokter? Dokternya berkata ia harus tinggal minimal di klinik tiga hari, itu sudah prosedur.
Daripada berdebat dengan dokter itu, ia pun menganggukan kepalanya. Walaupun ia merasa sudah kembali seperti sediakala.
Makanya jadilah ia akan menempuh 1 hari selanjutnya di sini. Dan lagi-lagi ia berpikir, kapan saya tidak tinggal di tempat yang dipenuhi oleh kata prosedur?

5. Hari Kelima
Datanglah hari kelima, ia begitu suka cita sekali. Seperti anak umur 5 tahun yang sedang merayakan ulang tahunnya.
Sampai di selnya ia menari-nari, berjoget-joget menyanyikan lagu yang tak karuan liriknya. Tetangga sebelah selnya berteriak keras padanya, sambil bertanya mengapa ia berkelakuan seperti orang gila.
Ia menjawab sedang merayakan kebebasannya. ”Mana mungkin kau bebas?”, tanya tetangganya itu. ”Bukankah kau baru masuk 5 hari ini?”, imbuhnya. ”Kamu jangan salah paham, aku merayakan hari ini, karena aku sudah dinyatakan sembuh oleh dokter”, balasnya. ”Tapi bukankah itu hal yang biasa saja”, tanyanya lagi. ”Ini bukan hal yang biasa, ini hal yang luar biasa. Sepanjang hidupku baru kali ini saja aku sakit. Tentunya senang dong sudah sehat lagi”, ujarnya.
”Aneh”, gumam tetangganya itu. ”Mengapa kamu sebut aku aneh?”, tanyanya menyelidik. ”Kau tidak seperti lumrahnya koruptor lainnya. Mereka selalu punya dalih sakit, sehingga aparat hukum merasa kasihan dan ditempatkan di hunian yang layak.” ”Kamu benar, aku bukan seperti mereka. Aku tak pernah punya cadangan sakit, koleksi penyakit atau apalah namanya. Mungkin ini bisa saja terjadi, karena aku bukanlah koruptor. Kalau koruptor sejati pastilah punya itu”, jawabnya.
”O begitu. Tapi jika tak punya, mengapa kau harus masuk penjara ini?”, sahut tetangganya. ”Itu hanyalah karena kesalahan prosedur”, cetusnya. Dan pembicaraan itu pun terhenti, saat petugas datang dan mengajak tetangganya itu keluar.

6. Hari Keenam
Pagi ini ia teringat dengan pembicaraan dengan tetangga selnya. Ia teringat ketika ia berkata tentang prosedur. Prosedur yang telah menjejalkan dirinya masuk ke dalam penjara ini.
Saat ia asyik dengan pikiran itu, tetangganya menegur dari sebelah tembok selnya. ”Kau lagi ngapain?”, tanya tetangganya itu. ”Aku sedang berpikir”, jawabnya. ”Untuk apa kau berpikir, bukankah kita cuma menunggui nasib?”, ungkapnya. ”Kamu seperti dokter di klinik itu, suka melarang aku untuk berpikir”, kecamnya. ”Di sini yang diperlukan hanyalah kemampuan bersikap”, balasnya dengan ketus. Aku diam saja, tak mau membalasnya lagi.
Tiba-tiba tetangganya itu bertanya, ”Maukah kau mendengarkan sebuah cerita dariku?” ”Dengan perasaan malas ia menjawab, "Ya”. ”Dengarkan ya! Pada suatu hari, di sebuah negeri, ada seorang gubernur. Sebut saja namanya Pak Azis. Pak Azis ini berbeda dengan para gubernur di sana yang bergelimang kemewahan, ia malah berkarib dengan kemelaratan. Sehingga tak menunjukkan kepangkatannya yang tinggi itu. Dan suatu malam, ada seorang tamu yang datang ke rumahnya. Bertanyalah ia, urusan bertamu tersebut berhubungan dengan negara atau pribadi. Tamu itu menjawab, ia datang karena urusan pribadi. Kalau urusan pribadi, lampunya tidak saya nyalakan kata Pak Azis. Setelah itu disuruhlah itu masuk ke dalam ruangannya yang gelap, tamu itu bertanya mengapa. Pak Azis berkata ia tidak mau menggunakan lampu itu kepentingan pribadi, karena lampu itu berasal dari uang rakyat. Demikianlah ceritanya, apakah kau tahu maksudnya?”, tanya tetangganya itu. ”Ya”, jawabku dengan pelan.

7. Hari Ketujuh
Ia jadi kepikiran dengan cerita orang itu. Ia merasa cerita itu menyindir dirinya dengan telak.
Sindiran itu telah menyadarkannya, ternyata ia selama ini bukanlah pejabat yang baik. Kemana-mana istri dan anaknya membawa mobil dinasnya untuk belanja, kuliah, dan pelesir. Ini jelas tindakan korup pikirnya. Bukankah mobil dinas diperuntukkan untuk melayani kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi?
Karena kesadaran itu, ia mulailah merasa bahwa ia memang benar-benar seorang koruptor. Untuk itulah ia berjanji akan menikmati hidupnya di penjara dengan ikhlas.

8. Hari Kedelapan
Di hari ini ia tidak ketemu ataupun mendengarkan suara tetangga sebelahnya itu. Ia menjadi gelisah, ia ingin mendengar cerita lagi yang lain dari tetangganya itu. Ia menunggu-nunggu hingga malam merayapi harinya. Namun tetangganya itu tak terdengar suaranya atau sekedar batang hidungnya.
Terus terang tetangganya itu hanyalah satu-satunya teman di bloknya itu. Blok khusus untuk para koruptor. Tiap sel hanya untuk satu orang saja, berbeda dengan blok lain yang harus berbagi dengan yang lain. Menurut informasi yang ia dengar, ini peraturan baru. Tak ada fasilitas TV, spring bed, kulkas maupun taping.

9. Hari Kesembilan
Saat makan siang, mendadak tetangganya itu muncul dengan membawa sebuah cerita baru. Sepertinya tetangganya itu tahu, bahwa ia sedang menunggu cerita darinya. Dan mulailah tetangganya itu bercerita, ”Ada seorang raja yang sangat pemberani. Kemana-mana ia membawa pedangnya. Katanya pedangnya itu untuk digunakan menegakkan kebenaran. Karena keberaniannya itulah tak ada satu pun orang yang tak takut padanya. Pada suatu hari seorang anaknya akan dicalonkan menjadi seorang gubernur. Betapa marahnya dia, sambil mengacungkan pedangnya yang tajam. Dia berkata jangan pernah ada satu keluargaku yang menjadi pemimpin, kecuali aku. Aku tak mau dianggap KKN. Jika kepemimpinanku berhasil maka keberhasilan itu milik keluarga. Kalau gagal, biarlah itu kutanggung sendiri”. Mendengar cerita itu, ia pun menjadi tercekat.

10. Hari Kesepuluh
Di hari kesepuluh ini, ia bertekad bertanya pada tetangganya itu tentang masalah korupsi dan pemecahannya. Ia mengira tetangganya pasti tahu jawaban masalah itu.
Dengan mimik serius dihadapinya tetangganya itu. Melihat muka seriusnya, tetangganya itu tergelak hebat. Setelah tawanya berhenti, ia bertanya, ”Ada apa gerangan dengan dirimu?” ”Aku mau tahu pendapatmu tentang masalah korupsi dan pemecahannya”, ujarnya. Tetangganya itu terbahak lagi, dan berujar, “Apa kau gila? Aku dan kau ini sama-sama koruptor, untuk apa membahas hal itu?” Ia berkelit, “Hanya untuk mengisi hari ini yang kosong saja” “Baiklah. Korupsi itu mudah diberantas. Asalkan ada faktor kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan yang kuat di sini bukan diartikan kemimpinan lalim, tapi kepemimpinan yang meletakkan dasar hukum yang berkeadilan. Selain itu kepemimpinan yang bisa menyetir pemikiran bahwa korupsi itu mudah diberangus. Keseharian dari seorang pemimpin itu juga penting, bagaimana ia tidak hidup dalam kemewahan, selain daripada menggunakan tangan-tangan kekuasaannya untuk memenangkan tender proyek para pendukungnya, yang disertai juga bagi-bagi kue kekuasaan. Selain itu, harus jujur dan profesional”, jelasnya. “Itu bahasan terlalu melangit, tak segera dapat terwujudkan”, debatnya. “Jika kau ingin benar-benar memberangus korupsi, apakah kau pernah hidup jauh dari yang namanya suap dan pungli, pernah bersarasehan dengan orang-orang tentang korupsi, pernah menggalang massa berunjuk rasa menentang korupsi, pernah membuat LSM anti korupsi, pernah menyebar pamflet atau menyebarkan buku tentang anti korupsi, pernah menjadi duta anti korupsi, pernah membela orang-orang yang menjadi korban korupsi, atau paling tidak pernah berjanji dalam lisan, hati dan perbuatan untuk tidak berkorupsi? Jika belum, apakah kamu pernah berdo’a setiap hari dijauhkan dari perbuatan korupsi? Jika belum ada satu pun yang pernah kau lakukan, coba satu dululah!”, tandas tetangganya itu. “Ya ya aku belum pernah melakukan semua itu. Maksudku apakah kita perlu mencontoh dari negara lain, seperti hukuman potong tangan, hukuman tembak, hukuman pancung, menyediakan 1.000 peti mati tiap tahun, yang satu khusus untuk sang pemimpin, atau menyita semua kekayaannya lalu dibebaskan karena telah dianggap berjasa terhadap negara, atau disuruh kerja paksa/kerja sosial begitu?”, cerocosnya. Tetangganya itu terdiam lalu menuliskan sesuatu padanya. Ia menjadi terbelalak membaca tulisan itu. Tulisan itu berbunyi :
BUKAN KEBUTUHAN YANG MEMBUAT KITA MENGHALALKAN SEGALA CARA, NAMUN KARENA KETAKUTAN AKAN KEKURANGAN DAN KE-BELUM-AN
http :// dari berbagai sumber  

No comments:

Post a Comment