TERJEMAHAN

Friday 22 April 2011

ADAKAH PAHLAWAN ANTIKORUPSI

Di zaman kemerdekaan seperti sekarang ini yang paling kita butuhkan bukan pahlawan yang mengangkat senjata, melainkan pahlawan bangsa yang mampu berjuang secara konsisten memberantas salah satu musuh besar bangsa ini, yakni korupsi. Sebab, memang musuh besar kita bukanlah orang-orang bersenjata.
Kita bisa belajar dari Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian dari Bangladesh. Masyarakat internasional dan kita di Indonesia tidak menyangka doktor ekonomi jebolan Amerika Serikat tersebut mampu memenangkan Nobel Perdamaian 2006. M. Yunus menyisihkan kandidat kuat dari Indonesia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan prestasi perdamaian di Aceh.

M. Yunus berhasil meraih Nobel berkat perjuangan dan konsistensi hampir 30 tahun memberantas kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin Bangladesh lewat pinjaman lunak tanpa jaminan dari bank yang didirikannya; Grameen Bank.

Lewat bank itu, M. Yunus mampu memfasilitasi dan memberdayakan potensi warga miskin di Bangladesh untuk berubah dan lepas dari kemiskinan melalui fasilitas pembiayaan pinjaman tanpa jaminan. Saat ini sudah ribuan warga miskin Bangladesh yang memanfaatkan fasilitas pembiayaan tersebut.

Dengan prestasi peraih Nobel itu, M. Yunus disambut dan dijuluki pahlawan baru masyarakat Bangladesh. Masyarakat miskin Bangladesh sangat merasakan buah dari gagasan dan aksi M. Yunus lewat Grameen Bank tersebut. Inilah yang pantas kita sebut pahlawan sejati tanpa senjata.

Dengan kondisi bangsa yang tidak jauh berbeda dengan Bangladesh, kita juga sangat membutuhkan M.Yunus-M.Yunus Indonesia, yakni orang-orang yang berjuang secara konsisten, tanpa pamrih, dan melakukan kerja nyata untuk memberantas berbagai penyakit bangsa ini. Dua di antaranya kemiskinan dan korupsi. Dua masalah itu saat ini menjadi ancaman serius bagi bangsa ini.

Meskipun penjajahan fisik atau kolonialisme asing sudah berakhir dan kita sedang berusaha mengisi kemerdekaan, bukan berarti kita tidak membutuhkan pahlawan-pahlawan baru untuk mengatasi berbagai problem bangsa yang cukup krusial.

Tantangan dan ancaman bangsa ini bukan dari penjajahan fisik, namun penjajahan nonfisik seperti masalah kemiskinan dan korupsi. Masalah terakhir itu menjadikan rakyat dan negeri ini loyo, miskin, dan tak berdaya. Bahkan, sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negeri ini terancam.

Di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang carut-marut ini, kita membutuhkan orang-orang bersih dan jujur yang mampu memberantas penyakit kronis bangsa tersebut. Kita mendambakan hadirnya seseorang atau kelompok orang yang berjuang secara konsisten untuk memberantas korupsi.

Lebih dari itu diperlukan orang-orang yang berkomitmen tinggi dan konsisten untuk melakukan sesuatu dengan gagasan dan aksi konkret demi kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara.

Penyakit Kronis 

Pertama, tingkat korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan menjadi penyakit kronis. Beberapa gambaran yang menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia yang begitu parah ditunjukkan oleh KPK. Pertama, survei the Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) Januari - Februari 2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia.

Kedua, kebocoran dana pembangunan mencapai 50 persen dan pungutan tidak resmi mencapai 30 persen biaya produksi. 


Ketiga, rendahnya pertumbuhan ekonomi (5,1 persen), indeks kualitas SDM dan tingginya angka kemiskinan (16,6 persen) dan pengangguran (9,7 persen).

Keempat, utang pemerintah meningkat drastis menjadi sekitar US$ 70 miliar pada 2004, membengkak hingga antara aset pemerintah dengan utang defisit Rp 555 triliun. Kelima, laporan BPK 1999-2004, penyelewengan uang negara terjadi Rp 166,5 triliun, yang Rp 144 triliun adalah pelanggaran BLBI.

Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari nilai APBN 2004 Rp 584 triliun, Rp 23 triliun telah dikorupsi. Lebih lanjut, KPK menyatakan, pelaku korupsi yang paling banyak adalah anggota legeslatif, yakni 37 persen, disusul pejabat dinas pemda 18 persen, eksekutif 15 persen, pimpro 10 persen, parpol 3 persen, dan kepolisian 2 persen.

Temuan KPK tersebut tak jauh berbeda dengan yang dirilis Mendagri, yang menyebut ada sekitar 1.110 pejabat daerah korup. Pejabat daerah tersebut meliputi 7 gubernur, 60 bupati/wali kota, 327 anggota DPRD provinsi dan 735 anggota DPRD kab/kota di seluruh Indonesia. Mereka diduga melakukan korupsi pada 2004-2006.

Mengguritanya korupsi itu diungkapkan mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif. Korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet

Singkat kata, panjajahan yang paling bahaya dan membahayakan negeri saat ini adalah penjajahan aset negara dan rakyat oleh para koruptor. Penjajahan ini jauh lebih dahsyat dampaknya daripada penjajahan fisik. Kalau penjajahan fisik, kita bisa menghitung berapa jumlah korban. Tapi, kalau penjajahan aset negara dan rakyat, jutaan rakyat Indonesia beserta keturunannya terkena dampaknya.

Karena itu, perjuangan di era kemerdekaan adalah bagaimana berjuang melawan korupsi. Menjadi orang yang antikorupsi juga bisa disebut sebagai pahlawan.


Nuri Huda, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya


Sumber: Tulisan ini pernah dimuat situs Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tanggal 7 November 2006, yang merupakan salinan dari artikel di Jawa Pos, 7 November 2006.

No comments:

Post a Comment